Is the moment where i look you in the eye?
Forgive my broken promise that yau’ll
never see me cry
And everything, it will surely change even
if tell you I won’t go away today
Will you think that you’re all alone
When no one’s there to hold your hand?
And all you know seems so far away
And everyting is temporary rest your head
I’am permanent……
(David Cook, Permanent)
Takdir dan nasib bisa tampak berantakan,
misterius, fantastis, dan
sporadis, namun setiap elemennya adalah subsistem…
”Kisah seorang gadis biasa, pada hari
yang ia anggap tidak biasa........”
Biasanya
kepulangannya ke rumah terjadwal 2 minggu sekali, fenomena ini adalah lazim
kenapa? karena ia adalah anak desa yang berusaha memeluk masa depan gemilang
lewat tautan pendidikan kesarjanaan di ibu kota propinsi. Uniknya universitas yang menaunginya ini
kebanyakan mahasiswanya sibuk pulang kampung seminggu sekali (dan sebut saja
namanya) Anggi termasuk diantaranya. kadang aku menertawakan fenomena ini yang
notabene mahasiswa SEHARUSNYA sibuk mencari ilmu di bangku kuliah maupun di
luar (jam kuliah) kenyataanya setiap akhir minggu waktu mereka (aku termasuk di dalamnya)
digunakan untuk ”netek” ke orang tuanya masing-masing. Tapi anehnya aku tak
keberatan melakoninya cenderung menikmatinya malah.
Dosen
Kewarganegaraan waktu aku di tingkat II pernah berkata : ” Mahasiswa kita
kebanyakan adalah tipe mahasiswa bandul jam.” maksudnya adalah mahasiswa yang
kegiatannya hanya berlangsung di tiga tempat yaitu kost, kampus, dan mall dan
itu adalah rutinitas rutin. kesimpualannya aku adalah mahasiswa yang
biasa-biasa saja. Mari kita lanjutkan ceritanya
...........
Namum,
tak seperti biasanya perasaan menggebu-gebu untuk pulang berjumpa dengan
orangtua dan menilik rumah masa kecil itu diliputi keengganan dan kebimbangan.
Seakan telah mendapatkan feeling tapi
entahlah.
Di sore itu hari jum’at tepatnya tertanggal
pertengahan April 2010 (kiranya sedikit lupa berapa tanggal pastinya) Indonesia masih dirundung musim penghujan khususnya
salah satu sudut kota Semarang : Ungaran. Dan di sudut lain kota itu, Anggi
pulang dengan kendaraan kesayangannya sepeda motor SHOGUN 110 cc berwarna
merah-hitam. Sebenarnya lebih tepatnya itu bukan kendaraan kesayangannya.
Knalpotnya sudah bocor membuat suaranya pecah- besar, rem berdecit keras ketika
mengelus aspal, dan tak bisa ngebut.
Ia
pernah berkata kepadaku : ”Aku benci motorku, serasa inginku buang saja andai
itu bisa. Tp ini ku dapat dari jerih payah orang tuaku memeras keringat.
Sungguh ku tak tega jadinya”. Begitu katanya.
Cuaca
kala itu sungguh tak bersahabat. Mendung menggelanyut seperti ingin memuntahkan berjuta
air untuk menyucikan bumi yang semakin busuk saja. Tapi ia nekat menerobos
hujan di lampu merah itu. ”Ini jadwalku untuk pulang, sudah dua minggu. Ibu
pasti sudah kangen.” Gumamnya. Begitu banyak kendaraan, begitu banyak orang
dalam benaknya ingin secepatnya tiba dirumah, begitu banyak angan- angan masa
depan di langit hujan kota itu. Begitu banyak Semrawut tumpah ruah di jalan
itu.
Merasa senasib
dengan pengendara lain pasti dirasakan oleh banyak pengendara di jalanan basah
itu, tak terkecuali Anggi. Sama-sama memiliki tujuan yang sama yaitu ingin
cepat sampai di tempat yang diinginkan, suatu tempat yang lebih hangat dan
nyaman : entah itu tempat kerja ataupun rumah. Berkumpul dengan orang-orang
yang dicintai. Tapi apakah pernah terbesit di benak mereka bahwa ada sesuatu
yang mengintai mereka setiap saat. Di tiap-tiap pojok tikungan, tiap tanjakan,
turunan, bahkan jalan lengang nan lurus sekalipun. Sesuatu yang jahat. Pernahkah
para pengendara itu berpikir bagaimana seandainya mereka tak kan pernah sampai
ke tempat tujuan mereka, tak pernah lagi merasakan hangatnya dekapan orang tua,
gelanyutan tangan mungil seorang anak, dan sambutan hangat seorang istri/ suami,
dan hal- hal yang sungguh ia cintai di dunia ini?. Di sudut jalan itu maut
mengintai dengan sorotan mata yang tajam dan cengkeram kuat sayapnya bagi siapa
saja yang ceroboh dan lalai.
......
para pengendara
lain melesat cepat pada jalanan licin itu, terburu-buru. normalnya mengendara
pada lintasan antar kota adalah 100 km/jam. Namun, itu tak berkalu bagi kamus
shogun 110 cc milik Anggi. 60-80 km/ jam adalah ambang batas maksimal. Jika
melebihi itu, si merah hitam merengek dengan bergetar hebat dan terengah sambil
terbatuk-batuk jika menaiki tanjakan. Ia sudah paham betul harus sabar meniti, kelokan
demi kelokan, tanjakan hingga turunan yang terjal. didahului oleh pengendara
lain, itu sudah biasa. Hatinya sudah lebih ikhlas jika tertinggal.
Hari jum’at adalah
hari dimana para perantau untuk pulang. Para bujang dan gadis pulang ke rumah
orang tuanya. Sekedar melepas kangen dan mengusir himpitan hidup mungkin. Di
jalan raya Ungaran – Ambarawa- Bulu long march itu terbentuk oleh para perantau
baik pekerja maupun mahasiswa. Kebanyakan para bujang. Anggi si gadis terselip
di antaranya.
Jalan yang lebar
dimana kendaraan kecil roda dua bertarung dengan kendaraan tinggi besar nan
panjang sudah terlewati. Sedikit macet mendekati pasar. Menuju jalan yang
ukurannya lebih kecil setelah melewati terminal di depan kira-kira 5 meter.
Long march para perantau mulai terpecah. Saling kebut. Tersisalah Anggi dan
seseorang dibelakangnya.
Hanya ada dua tipe
orang di dunia. Wanita dan laki-laki. Seseorang di belakangnya adalah laki-laki. Tinggi
sedikit melebihi rata-rata, berat rata-rata, tampang rata- rata (mungkin karena
tertutup helm), ukuran sepatu, sedikit melebihi rata- rata. Celana hitam
panjang, mantel hujan biru tua, dan sepatu kulit mengkilat. Kesimpulannya ia
adalah seorang laki-laki biasa yang agak rapi menurut mata umum. Tapi tidak
bagi Anggi, orang itu seperti telah dikenalnya lama dan ada perasaan yang
membuncah untuk menerjemahkan perasaan apa itu, tapi gagal. Kenapa takdir
mempertemukan mereka berdua di hari itu?
Pria itu masih
setia menemani perjalannya. Kelokan demi tikungan tlah dilewati. Beberapa menit
berselang posisi berubah. Si laki-laki di depan kemudian disusul si gadis. Selang
jarak tak begitu jauh namun tetap terjaga Sedikit berjalan beriringan. Pria itu
membukakan jalan untuk untuk menyalip mobil atau truk di depannya.
Waktu berselang.
Mulanya pria itu begitu tenang berkendara, tapi mungkin karena dikejar waktu ia
sedikit jauh meninggalkan Anggi. Hanya terlihat punggung dengan mantel biru tua
berkelebat tertiup angin. Anggi sekarang sendirian di jalan sehabis hujan itu.
” Ah, pelan-pelan
saja jalanan licin. Nyantai lah.” gumam Anggi. Laju motor menunjuk angka 70
km/jam. Stabil. Terdengar gumaman membentuk nada tak beraturan, rupanya Anggi
sedang bernyayi di jalan menurun itu. rupanya untuk mengusir bosan berkendara yang
tak kunjung sampai ke tujuan. Kini Di kiri-kanannya telah terbentang hutan cacau milik PTPN IX. Motor terus melaju,
jalan menurun itu hampir habis. Terus ke utara tiba di tanjakan dengan sedikit
terenggah-engah. Ah rupanya pria itu terlihat juga, walaupun hanya punggungnya
saja. Rupanya sedikit macet, tertahan mobil yang tersendat oleh dua truk besar
full muatan di depannya lagi sedang tergopoh- gopoh merambat naik tanjakan.
Pria itu menyalip lincah dan untuk kesekian kalinya Anggi jauh tertinggal di
belakang tak bisa mengejar. ”Alon-alon asal tekan” menjadi moto Anggi entah
sejak kapan.
...........
Perjalanan sedikit
tersendat, terjadi kemacetan di depan sana. Ada apa gerangan?. Tiba di coffe
banaran pertanyaanya terjawab sudah. Anggi melihat kerumunan banyak orang di
sebrang jalan. Ia menduga itu hanya satu lagi tabrakan kecil dan ada satu lagi
orang yang mengeluh punggungnya sakit.Ia meluncur pelan-pelan dengan perasaan
di aduk perpaduan memabukkan antara adrenalin dan semangat yang mengalir di
urat nadi karena rasa ingin tahu.
”Terjadi
kecelakaan tabrak lari kata bapak-bapak di sebrang jalan. ”Baru saja terjadi,
mungkin 2 menit yang lalu” teriak bapak itu menjawab raut wajah penasaran
pengemudi mobil di depan. Anggi dengan shogunnya berjalan pelan-pelan di ikuti
pengendara lain karena tertahan dua mobil yang melambatkan lajunya.
Jalanan
lengang, langit kelabu, udara begitu dingin, seolah alam ikut berduka menjadi
saksi mata bahwa ada satu lagi yang hilang dari naungannya. Raut wajah
prihatin, seolah waktu berhenti berjalan untuk sekian detik tanda berduka.
Tergeletak
sesosok tubuh di tengah jalan. Sedangkan penabraknya terbirit lari. Darah segar
membasahi jalan yang sudah basah oleh air hujan. Motor terpental ke sebrang
jalan, kaca pecah, mobil, motor berhenti sejenak untuk melihat, kerumunan orang
di sebrang jalan, bapak-bapak membawa payung yang akan menutupi sosok tadi
dengan daun pisang. Siapa sosok tersebut? Perjalanan pulang sore itu, adalah
perjalanan terlama yang pernah anggi rasakan. Ia tertegun. Termangu sepersekian
detik. Shock. Berbagai macam perasaan kacau balau dan menyiksa benak Anggi. Ia ingin
menangis dan muntah.
”Apa yang Engkau diamkan
Tuhan?,
Apa yang Engkau
hadiahkan Tuhanku?.
Bisakah ku
memaknainya?.”
”Tubuh kaku itu,
mantel biru tua itu, helm yang kini kacanya pecah itu, celana itu, sepatu itu,.
adalah pria yang tak kukenal tapi aku pernah merasa kenal
” Dan
wajahnya? Kenapa menyiratkan ketenangan yang tertahan.”
Serpihan-serpihan,
tapak dan nama tertinggal. Orang itu akan menghanyut jauh sedang ruh jiwanya
terbang melayang ke balik awan dan tak kan pernah benar-benar terjaga.
Sayap-sayap kematian telah merengkuhnya dan kini menjadi rahasia alam yang
tersembunyi di dasar bumi.
Pria itu meninggal
dengan ketengan tertahan yang tersirat di wajahnya, pria itu meninggal dengan
luka parah di kepalanya, pria itu meninggal
tepat di sebelah kanannya adalah masjid. Pria itu meninggal hari jum’at.
pria itu meninggal dengan aura damai seolah ia telah ikhlas menyelesaikan tugas
hidup yang di amanatkan Tuhan padanya
hanya dalam seperempat umur yang ditempuh manusia biasa. lalu bagaimana dengan
keluarganya yang menunggu kedatangannya di rumah, yang tak kan pernah benar-benar
pulang ke rumah, bagaimana perasaan ayahnya, ibunya, istrinya, anaknya,
mertuanya, atau pacarnya bahkan teman-teman baiknya. Yang menjadi pertanyaan,
apakah itu terasa sakit?.
”Tuhan,
kekudusan-Mu telah meliputi semua makna.”
“Apakah
aku bisa membaca, pertanda apa ini?.”
Mungkin
ia orang baik, mungkin Tuhan terlalu sayang padanya dan telah lama merindukan
miliknya kembali karena misi di dunia telah ia tunaikan dengan baik. Dan kenapa
bukan Anggi, rekan perjalanan yang tidak ia kenal, padahal hanya berselang 120
detik saja anggi terbebas dari mulut kematian? Tuhan pasti punya
jawabanya yang paling sempurna. Dan pria itu adalah orang terpilih.
Maut bisa datang
kapan saja, di mana saja, di tempat yang tak terduga, dan untuk siapa saja. Ia
tak mempertimbangkan orang itu baik hati, jahat, tukang mabuk, kaya, miskin,
laki-laki, perempuan, tua renta, ataupun pemuda tanggung serta anak-anak. Bahkan
ketika kita sedang berhati-hati sekalipun. Kadang orang yang ingin mati malah
terselamatkan sedangkan yang tak ingin malah kejadian.
.......
Kini telah tiga
bulan berlalu sejak kematian pria asing yang dijumpai Anggi pada perjalanan
pulang ke rumah. Pria asing itu bukan saja masih hidup dalam kenangan keluarga
dan teman-temannya, ia juga masih hidup dalam hati dan kehidupan Anggi. Pria
itu memberikan contoh pada kita semua. Kita tak kan pernah tahu berapa banyak
waktu yang akan kita miliki untuk menjalani hidup. Dari pelajaran ini kita
harus berjuang membawa perubahan dan buat keputusan yang benar dalam hidup dan
selalu berusaha menyeimbangkan urusan dunia dan akherat.
jika
hidup ini seumpama rel kereta api dalam ekperimen relativitas Einstein, maka
pengalaman-demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah
cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relatifitasnya
berupa seberapa banyak kita mengambil pelajaran dari pengalaman yang
melesat-lesat itu.
NB: repost ^^
Panjaaaaang anggiiiiii =D
BalasHapusmotor itu masih ada kah?
makanya sering denger kata orang tua jangan ngebut-ngebut di jalan inget ada orang yang nungguin kamu sampai di rumah. ya hikmahnya untung anggi disitu tertinggal jauh meskipun harus di bayar dengan melihat kecelakaan itu. tapi kalau saja sejajar jalannya mungkin ceritanya akan lain. takdir memang berjalan dan tidak bisa di tebak.. ini kisah nyata kah? anggi disini bener-bener kamu?
panjang dan lebar #eh
Hapusiya masih dan sekarang masih setia nemenin aku namanya utut (baca : butut) he...he...
iya itu kisah nyata waktu aku kuliah semester akhir. gr2 kejadian itu aku nggak berani bawa motor jarak jauh selama 5 bulan #emalah curcol. emang bnr takdir itu misterius dan fantastis yah
so kita hrs selalu hati2 ea kaka ^^
poto dong si ututnya pengen tau penampakannya kaya apa hohoo..
Hapusea adek =P
wadow, katanyasi utut malu klo difoto..:))
Hapussetuju uy!! sebuah pengalaman adalah sebuah pembelajaran.. sedih, senang, bahagia, sengsara, bahkan tragis sekalipun.. pasti ada hikmah yang bisa diambil.
BalasHapusiya bener bangt....
HapusBersyukur lebih dari apapun senikmatnya apa yg ada didunia ini ya sist . .
BalasHapusMotor..alhamdulillah setidaknya udah punya. .
:D
iya sist ^^
Hapussetidaknya dengan bersyukur kita bisa menikmati esensi hidup (bahasanya ceileh)