(Terinspirasi dari drama Stairtway To Heaven dan sebuah puisi
dari Sapardi Djoko Damono)
“…pabila
cinta memanggilmu…
ikutilah
dia walau jalannya berliku-liku…
Dan,
pabila sayapnya merangkummu…
pasrahlah serta menyerah, walau pedang
tersembunyi di sela sayap itu melukaimu…”
(Kahlil Gibran)
Adalah
keterbatasan karena aku wanita, adalah keterbatasan karena KAU lelaki.
Keterbatasan kita pun lengkap dengan keterikatan yang memabukkan. Dipertemukan
oleh takdir yang fantastis dan nasib begitu sporadis. Berawal 12 tahun silam,
Kita dipertemukan dan dipisahkan oleh gerimis.
….
Gerimis
tadi sianglah yang telah memporak-porandakan benteng pertahananku yang dengan
susah payah ku bangun dengan satu persatu bata-bata keikhlasan, yang coba ku
pelajari sedikit-demi sedikit oleh gelisah yang kekal. Kemudian aku mengenangmu
lewat bituran-butiran hujan yang menggaris bersama gerimis sore hari.
Ya
aku baru selesai membaca gerimis, rintik-rintik itu mengirimkan tangis yang pecah
di ujung senja tadi. Gerimis itu tak henti-hentinya memeras airmataku, dan
tangis itupun pergi dengan selembar wajah terjatuh dalam gerimis. Aku pergi.
Aku pergi.
Langkahku mencipta gaung di sepanjang lorong
kosong itu. Kekosongan yang sama menyita hatiku. Kekosongan itu mengirimkan
hanya satu gema yang terus bergaung di telingaku, KAU. Ruang itu begitu sunyi.
Sangat sunyi hingga suara sehelai rambut yang jatuh bisa membuat siapa pun yang
berada di dalam ruangan itu terlonjak dari kursi. Tapi mereka tak dapat berbuat
apa-apa selain diriku menahan luka. Tak ada yang berani bertanya di mana
persisnya aku terluka. Mereka hanya tahu aku terluka. Luka yang begitu dalam.
Luka yang begitu perih.
….
Memory Masa
Lalu
Semua berawal 12 tahun silam. Awalnya aku tak
menyadari keberadaanmu, tak menyadari sosokmu yang berdiri persis di hadapanku.
Waktu itu aku buta. Dan akhirnya semua itu datang : sesuatu yang tengah hangat
diperbincangkan remaja-remaja putri di koridor-koridor sekolah saat jam
istirahat. Waktu itu aku belum paham betul, karena aku hanya dengar lewat
bisikan-bisikan. Kamuflase ini pun berlanjut setelah diriku dimatangkan oleh
umur remaja : CINTA MONYET. Finally, dia si “cinta monyet” akhirnya menemukanku
yang sedang bersembunyi, walaupun ku bersembunyi lagi dan lagi dia tetap
memergokiku di persimbangan jalan. Ha…ha…ha.. sungguh tak percaya aku merasakan
getaran-getaran yang asing. Waktu itu aku belum paham betul. Adalah
keterbatasanku karena aku wanita.
Sayangnya, aku merasakan getaran itu hanya
dengan KAU saja, kenapa tidak dengan orang lain?. Apa aku salah?, adakah salah
dalam diriku?. Adalah keterbatasanku karena aku wanita. Perasaanku ku biarkan
begitu saja, begitu saja menguap di cuaca yang panas, begitu saja mendidih di
cuaca yang didinginkan rindu. Sayangnya, ku menjatuhkan perasaan yang salah
kepada KAU.
KAU yang membuat diriku begitu memahami
perasaan Kahlil Gibran ketika ia menuangkan jiwanya lewat tulisan-tulisan yang
begitu indah. Dan KAU yang membuat diriku menyeduh tulisan biru ini dengan segenap
hatiku yang telah kau bawa pergi di dasar hujan. KAU membuatku membaca namamu
lagi yang telah ku gulung sepanjang hari. Tetapi tidak ada yang tahu bahwa
gerimis, aku selalu menangis. Tetapi, bagaimanakah suara gerimis ini mengajakmu
pergi, ketika airmataku menetes tak henti-henti?
KAU ingat, 12 tahun lalu kita hanya
kanak-kanak, dengan kepolosan kita menangis dan tertawa. Namun, semua telah
berubah ku cari jejak-jejak keceriaan masa kanak : dia telah pergi jauh. Semua
telah berubah. Aku hanya menemukan perubahan itulah satu-satunya yang tetap
sama dari dulu. Ah, waktu bagaikan
penjahit yang khusus mengerjakan perombakan yang melompat melesat ke
atas kendaraan yang bernama kehidupan. Sedangkan aku tertinggal dalam debu.
Tersudut meradang.
Sejatinya KAU tahu bukan? Aku mengagumimu di
balik punggungmu, tidak berani blak-blakan. Ya kau tahu, tapi tidak ingin
mengetahuinya. Setahuku dari dulu KAU sangat pandai membaca, karna itu aku tak
pernah berani menulisnya di keningku. KAU akan mengejanya begitu nyaring dengan
kedua mata elangmu yang tajam.
KAU berkali-kali bilang “Walau bagaimanapun
dan dalam situasi apapun kita adalah saudara.” Ya, aku paham betul walau
bagaimanapun aku tetaplah Adikmu. Adik yang mungkin kau dapat karena sebuah
keterpaksaan. Keterpaksaan anak kecil karena kasih sayang Ibumu telah direbut
secara sepihak oleh Ayahku. Sehingga kau mendapatkannya tak lagi utuh. Waktu
itu aku tidak apa-apa. Pikirku demi kebahagiaan ayahku, yang bertahun-tahun
hidupnya sepi. Alasan lainnya adalah karena perasaanku delum tertambat kapada
KAU. Tapi KAU lain, KAU murung. Padahal kau lebih tua dariku lima tahun. Tapi
aku paham.
Baru dua tahun berselang kau bisa menerima
ayahku, dan benar-benar menerima keberadaanku. Begitu hangat, begitu perhatian,
begitu menyanyangi. Celakanya, perasaan seperti itu baru aku dapat ketika
usiaku masih labil, dan parahnya aku salah memaknai perhatianmu. Aku kalut, KAU
tahu kan? Aku bisa mengendalikan. Aku harus bisa, ini terlarang.
…
Dan
apakah kau tahu bagaimana perasanku waktu itu? 8 tahun lalu? Bukan hanya kau
satu-satunya yang hancur. Aku, perasaanku hancur tidak hanya sekali tapi
berkali-kali, berkeping- keping. Namun, telah selesai ku menata diri kembali.
Aku paham betul, perasaanku salah, salah besar malah. Maka dari itu aku tetap
memilih sembunyi, aku sembunyikan perasaanku yang seringkali membuatku sesak
napas sesering KAU bersikap menyebalkan dengan “tak mau tahumu” tentang
perasanku. Sejatinya kau tahu bukan? Karena sesuatu yang datangnya dari hati
akan sampai ke hati pula. Betul, itu malah membantuku untuk berpikiran terbuka.
Terima kasih.
aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
seperti kata yang tak sempat diucapkan,
seperti kata yang tak sempat diucapkan,
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan,
aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan,
kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Anehnya, aku tak mau beranjak. Masih tetap
terdiam. Di saat itu kau telah berlari jauh meninggalkanku yang masih saja
termangu. Kau tumbuh menjadi laki-laki yang rupawan (itu menurutku) tapi yang
tak bisa bohong dan tampak dari luar : Kau kharismatik. Itulah yang membuat
dirimu begitu “digilai” oleh banyak perempuan. KAU berubah playboy. KAU asik
dengan duniamu sendiri
Aku masih saja setia mematut, terpekur oleh
kebodohanku sendiri. Sebenarnya banyak laki-laki yang mendekatiku, tapi
bodohnya aku tak mau mencoba. Tak ada atau belum ada seseorang yang bisa menyamai dalamnya perasaanku kepada
KAU.
….
Ku simpan mukaku ketika hujan mencurahkan
bituran gerimis. Duduk di bawah temaram lampu sorot di atas meja. Merenung.
Berhari-hari jiwaku tidak sedang menjadi bagian perangkat system tubuhku.
Ketika aku bergerak ia tak ikut bergerak, ketika aku bernafas, ia tersedak
dengan paru-paruku. Ia tak bisa diatur sesuai kemauanku. Dan tahulah ia, kalau
ia sedang tak ingin aku perintah.
Hari ini aku belajar mengikhaskan untuk tiga
hari ke depan dan untuk hari-hari mendatang. Aku telah sepakat dengan diriku
sendiri bahwa KAU untuk selamanya adalah kakaku dan aku adalah selamanya
adikmu. Bahwa ikatan saudara tak pernah akan terpisahkan bahkan terputus. Bahwa
kakak-adik bisa bergandengan tangan saat berjalan sendiri dirasa berat, bahwa
kekasih tak bisa mengusap kepalaku sesering KAU mengusap kepalaku. Bahwa kita
bisa berjabat tangan ketika kita dalam pertikaian. Bahwa cinta tak pernah
salah, pelakunyalah yang salah. Bahwa definisi cinta adalah tak sekedar cinta
sepasang kekasih. Berjalannya waktu sesuatu yang memanas akan mereda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
monggo dipun komen ceman-ceman..... komen kalian akan selalu terngiang-ngiang di blog ini *ya iyalah