Entah sejak kapan saya mulai menulis. Maksudnya, bukan
ketika saya memulai pendidikan formal, tentu saat itu belajar menulis adalah
sebuah keharusan. Lebih tepatnya saya lupa kapan nilai keharusan itu berubah
menjadi sebuah kepedulian. Kepedulian akan
kata-kata, kepedulian akan aksara. Kepedulian akan makna.
Seingat saya grafik kepedulian itu meningkat seiring belajar
membaca, tentu membaca dan menulis adalah paket eksklusif komplementer juga
bersifat subtitutif. Keduanya adalah belahan jiwa, salah satunya bahkan
dua-duanya bakal merana jika tidak saling berdekatan.
Ketertarikan saya bermula ketika saya mulai menyayangi
membaca, anehnya bukan buku pelajaran yang saya sayangi, justru karena buku
fantasi dan misteri. Ya hormat saya sebesar besarnya buat J. K Rowling, Sir
Conan Arthur doil, Aghata Cristie. Untuk pertama kalinya lewat alunan tangan
emas mereka saya dibuat jatuh cinta, seketika!.
Saat pertama kali menginjakkan mata untuk menelusuri berjuta-juta huruf,
jiwa ini bergelora. Ya bergelora saat memahami bahasa mereka yang begitu
mendidih, tulisan mereka punya jiwa.
Mereka mengajarkan saya untuk belajar menulis. Belajar menyematkan jiwa saya pada setiap
pergerakan perpindahan dari kata-perkata. Juga belajar menautkan hati saya
dalam setiap ejaan. Dari mulai belajar menulis kalimat sederhana seperti “ ini
ibu Budi” hingga mampu merangkaikan sebuah paragraf puitis yang menggelora di
magma bahasa.
Menulis bagi saya adalah sebuah ketenangan. Betapa tidak
saat berbicara hanya saling melukai, menulis lebih menentramkan, saat berbicara
hanya sebuah bualan, menulis adalah sebuah kejujuran yang menenangkan. Bagi mereka
yang haus membaca, menulis adalah oase di hati yang gersang. Ya menulis adalah
sebuah ketenangan, yang alunannya seperti aliran air jernih pegunungan. Tenang tapi
juga tajam.
Sering kali dengan menulis, saya berdialog. Berdialog dengan
diri sendiri. Menulis membuka cakrawala saya untuk bagaimana menyikapi sebuah
situasi. Membuka sudut pandang lain bagaimana jika tokoh berbeda yang
memerankan sebuah situasi tersebut.
Bagi kaum introvert (saya termasuk di dalamnya) menulis
adalah cara dominan untuk mengekspresikan tentang rasa dan asa. Lagi –lagi kami
menjumpai ketenangan lewat jalan ini, lewat setiap bahasa yang memiliki tanda
kurung dan garis miring di dalamnya. Ya kami lebih ekpresif dalam menulis,
menggebu-gebu, di setiap tarikan nafas ketika menyusuri prosa. Kadang tercekat
ketika menuruni tanda seru dan berdecak saat berlari mengejar tanda titik. Tidak
jarang menitikkan air mata bila menjumpai kalimat sarkastik yang melukai esensi
dari tulisan itu sendiri.
Kemudian, Saya mulai mencintai menulis kembali ketika
menjumpai penyair berdiri penuh percaya diri di atas sajak-sajaknya. Dia adalah
Sapardi Djoko Damono dan Khairil Anwar. Dengan merdunya mereka berdua
mendendangkan rima puisi. Bagi saya, mereka berdua adalah penyanyi, bukan
penyanyi dalam artian harafiah. Suara mereka merdu lewat irama katanya, nadanya
pas tidak fals dengan warna suara yang cenderung sopran setiap memuntahkan
tulisan di secarik bidang. Seringkali mergidik
setiap mengeja kedalaman liriknya.
Selanjutnya saya mencintai menulis lagi ketika menjumpai
penulis di pojok tikungan yang ruangannya berhamburan penuh kata-kata,
bermilyar kalimat dan bertumpuk-tumpuk buku. Ya saya mencintai menulis ketika
berpijak di lantai putih bernama toko buku.
Suatu waktu saya berkenalan dengan Dewi Lestari dan juga Andrea
Hirata secara tidak sengaja. Supernova mengenalkan saya pada seorang mojang
bandung yang lugas, cerdas. Serta Laskar Pelangi menghantarkan saya pada
sesosok orang dengan sorot tajam kenangan masa kecilnya yang hangat. Tulisan mereka
menggairahkan, saya seringkali terangsang dan orgasme berkali-kali setiap
bersenggama dengan buku-buku mereka. Boleh dikatakan puncak kepuasan bagi
seorang gadis seperti saya adalah menulis dan juga membaca. Membuat saya lebih
hidup.
Lagi-lagi mereka semua yang saya sebutkan sebelumnya masih
bernyanyi di dalam otak saya,menemani saya menulis dan juga berperan menjadi
soundtrack atau becksound mood maker menulis saya.
Jadi apakah kalian juga merasakan hal yang sama ketika
kalian menulis?
Waduh horor bersenggama dengan buku...
BalasHapusNek aku menulis piye ya... nulisnya cuma di blog sih.
Tapi meski begitu, kalau pas lagi jarang baca, aku susah nulis wkwkwk. Harus baca baca dulu biar ada ide.
Memang membaca dan menulis itu dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Makanya aku agak sensi ama orang yang bilang kalau ia suka nulis tapi nggak suka baca... padahal ngapain ya sensi, orang hak asasi dia hahaha!
it cuma majas aja kok una, nyeremin ya he...he... aqpun tk bisa membayangkan *halah
BalasHapusaq juga sependapat tuh, bo'ong kalo suka nulis tp g suka baca. kita bisa menulis bukannya diawali suka membaca dulu. sering kok aq habis baca sesuatu tb2 mood nulis keluar aja, sering dapat ide nulis malah dr baca gitu
sependapat aku dengan kakak menulis adalah salah satu senjata introvert sebab aku juga terjerumus didalamnya bisa menulis keseharian tanpa tahu siapa aku :)
BalasHapusbagaimana kita menulis? ;D
BalasHapus"...Kadang tercekat ketika menuruni tanda seru dan berdecak saat berlari mengejar tanda titik..."
BalasHapusaku malah terjebak diantara tanda kurung nggi.. haghaghag