Kau biarkan burung-burung itu pulang, membelakangi matahari yang tumpah di tebing jurang gelombang, menjauh dari naunganmu setelah seharian penuh kelana. kumpulan pekat kian dekat merekat dari sepi yang kokoh. Sebagian lagi menyeruak masuk menciptakan rasa dingin, sebagian yang lain menguap seperti jiwa-jiwa yang terlepas dari raga. Menara waktu retak.
Segugus senja yang kita namai puisi itu memang sepertinya runtuh dari langit, sementara kau lebih rela percaya bahwa mereka datang dari ujung tombak bulu mata di atas pucuk kelapa belakang rumah, Langit menjauh, malam memberat dan senja melambaikan kuning hingga senja merebahkan tubuhnya.
ketika segala hitam telah dihembuskan sang malam, kau lari ke dalam angin, ke dalam bayang-bayang, ke dalam langit warna tembaga, lari ke dalam hutan sebelum malam merajam lalu memasuki ke sebuah ruang yang hanya ada aku dan kamu di dalamnya.
Aku senantiasa tahu, kau bahkan mulai merasa luka yang tak tahu definisinya. kita hanya bertemu dalam bayang-bayang lalu kita bergegas, kemudian kamu menjelma jadi sosok itu. Dan aku hanya ingin kembali pada desir yang semilir
satu menit....sepuluh menit....seperempat jam.... namun kamu tak jua datang, aku memejamkan mata, masih saja kamu tak jua kembali kemudian aku kehilangan hangatmu dan masih terbata-bata mengiringi kepergianmu sebelum semua itu, sebelum segala sesuatu berubah menjadi dingin pagi pada dimensi kita yang telah berbeda
"selamat sore teman aku berada di kaki senja, dimanakah kau kini berpijak?"
"selamat sore teman aku berada di kaki senja, dimanakah kau kini berpijak?"
~belakang rumah, 17.05~
anggi and her poetic writing are back :)
BalasHapusemang selama ini lagi ngumpet :)
Hapus#krisis identitas
masih di tempatku berdiri membunuh sepi,
BalasHapusmerasuk dalam hening, membelah pekat, melerai penat.
#puisinya keren euy diksinya oke ;)