![]() |
Kelip Kelip Kg. Kuantan, Kuala Selangor, Selangor |
Seperempat abad, 25 tahun. Bukan
waktu yang singkat, saya rasa. Begitu banyak hal yang berubah. Begitu banyak
loncatan, pergeseran, dan perpindahan.
Bukan waktu yang singkat untuk
sekedar menelantarkan kata “mengisi waktu luang”. Tidak hanya pergeseran jarum
second per second pada bandul jam. bukan waktu yang singkat untuk berlayar di
antara lautan berjuta ragam manusia, tenggelam di dalam samudra keringat yang
bercampur dengan benua orientasi materi bahkan hanya sekedar mengenal jati
diri.
Kata orang, waktu itu relatif,
tentu tergantung sudut pandang. Orang cendekiawan akan beranggapan waktu itu
pasti. Bila dihitung-hitung mengkalkulasikan satu tahun misalnya, jumlah per
secondnya sudah mencapai 365 x 24 x60 x 60. Hasilnya ? bukan angka yang sedikit
31. 536.000 detik. Lantas jika dikalikan dengan 25 tahun?
Bagaimana menjadikan waktu itu
relatif? Ah, ya kita seringkali mengesampingkan tambahan pencerminan rasa
(relativitas rasa), dimana 1 detik bisa saja akan tersa 1 jam bahkan 1 tahun.
Dari jumlah tersebut, saya hanya
membutuhkan sebuah pansive milik dumbledoor dan menyedot benang-benang memory
lalu menuangkannya dalam bejana itu. Andai hidup semudah itu. Tidak.
Selayaknya hewan kita pun metamorphosis,
metamorphosis tidak sempurna. Bayi – kanak-kanak – dewasa– tua– mati.
Begitu banyak rentetan- rentetan
kejadian yang secepat kitat datang, dan secepat itu pula pergi. Akhir-akhir ini
kejadian-kejadian itu seringkali nyantol di pikiran. Ibarat alur film mundur. Flashback.
Terlalu banyak pergantian adegan film biografi kehidupan.
Dari perpindahan satu tempat ke
tempat selanjutnya, diawali satu cerita dan bersambung dengan cerita lainnya. Sekuel.
Prekuel. Saga dll.
Dari pindah rumah masa kecil menuju rumah yang
lebih menenangkan karena letaknya di pedesaan. Dari mulai anak mama sampai
harus berpisah untuk ke kota besar melanjutkan pendidikan. Teman- teman
berubah. Teman-teman berganti. Pindah satu kota ke kota lain. Setiap kota
membekas menjadi kenangannya sendiri.
Sekarangpun saya masih tetap
mencari rumah baru. Rumah dalam bentuk lain : hati yang baru. Dalam setahun ini
saya mempunyai dua kehilangan besar. Serasa hati yang kecil ini dicongkel
sedemikian besar, tidak hanya satu kali tapi dua. Menyisakan hanya separuhnya. Dan
harus dipaksa menggantikan separuhnya dengan yang baru.
Putus cinta, dan memutuskan tetap
mencintai walau orangnya telah tiada. Dua hal yang berlainan. Ya saya baru saja
putus cinta dengan pacar, dan itu benar-benar putus ikatan (bukan perkara
besar). Dan perkara kedua “memutuskan mencintai” dan tetap mencintai karena
sebuah kehilangan yang telah digariskan : kematian. 2 bulan sudah saya
kehilangan BAPAK. Ada kehilangan-kehilangan yang rasanya baru kemarin terjadi,
dan selamanya akan selamanya seperti itu.
ironisnya bahwa perkara mencari
rumah baru bertepatan dengan urusan pindah hati. Mungkin lebih tepatnya
memperbaiki hati.
Hidup memang gudangnya kejutan
bukan. Ibarat cuaca siang panas menyengat semenit kemudian hujan badai. Seketika
keadaan berbalik 180 derajat. Itu yang saya rasakan. Dipaksa mencicipi
remahan-remahan
pancake dari berbagai rasa dari pahit coklat sampai asinnya
keju.
Stok kaget saya belakangan ini
hampir habis : kucing kesayangan mati
dan voilaaaaa entah Alloh
mendengar salah satu stok doa saya atau memang terlalu baik. Saya dilamar. Iya,
dilamar dan benar-benar dilamar. *krik* *krik*
Celakanya kejadian itu tidak
dibarengi dengan stok kesiapan saya untuk kehilangan dibanding stok new comer. Hasilnya
saya dilanda gelombang bimbang yang luar biasa.
Cuma satu hal yang saat ini saya
butuhkan. MENEPI
Hanya demi beristirahat di sebuah
dermaga, cuma sekadar bersandar di sebuah karang raksasa, atau menikmati
burung camar yang mencoba merunduk lalu mendarat.
Hanya untuk memejamkan mata,
menengadahkan wajah ke angkasa, lalu merasakan sayup angin sepoi-sepoi yang
sedang berkejaran di antara ilalang, lantas terlelap sampai ke sebuah dunia,
yang disebut dimensi pikiran manusia. Menenangkan diri.
Seperti telinga kita sering terganggu oleh derau aneka
suara; ada waktu untuk mengistirahatkan hati dari kebisingan kata-kata kita
sendiri
Lalu menghela nafas. Dan
merebahkan tubuh. Dan kemudian merasakan bahwa Tuhan itu ada, nggak cuma saya,
kamu, dunia dan media-medianya.
Dan sekali kali jika pansive
dambledoor itu benar adanya. Saya ingin sekali mencurinya. Hanya untuk sekedar
meletakkan benang-benang kusut yang dinamakan pikiran.
Lalu, entah kapan akan berlayar
kembali