Tulisan ini saya buat ketika sedang
duduk termenung di halte bus. Menunggu bus kampus. tepatnya kampus almamater. Lagi.
Jari saya kembali membolak-balik layar smartphone. Sampai guratan jejak jari
berminyak membekas di layarnya. Dan saya kembali menunggu bus lagi. Sudut mata
saya melirik sedikit, dengan earphone terpasang di telingga, lagu balada
mengalun yang membuat debaran dan nafas sesak.
Hari ini. Saya tidak akan
mengeluh karena cuaca yang terik, jalanan yang lengang, aspal jalanan yang
memuai dan daun warna hijau-kekuningan yang tampak kehausan. Andai stomatanya
tampak pasti sudah menganga lebar-lebar. Mirip anak anjing yng menjulurkan
lidahnya sehabis jalan-jalan. Walaupun begitu, anehnya dedaunan itu masih dapat
menyapa dengan anggun-mengangguk tertimpa angin. Mirip di Eropa.
Lagi. Jari saya patah hati, makanya
saya menulismu. Mata saya patah hati. Dan juga saya rasa jantung ini juga patah
hati. Tepatnya, saya patah hati. Tak ada notifikasi, tertulis di layarnya. Ah,
saya benar-benar patah hati.
Kemudian, seperti anak kecil yang
tersakiti saya ingin mengamuk. Buru-buru saya melirik ke seberang jalan, masih
belum ada yang datang. Hhmm, saya menyadari banyak selama menunggu. Tiga setengah
tahun berselang setelah saya lulus dari kampus ini, segala hal bertumbuh. Segala
hal berprogres. Begitupun saya. Perasaan saya juga perasaan kamu.
Tahukah kamu. Jika bukan karena
ada janji dengan dosen akademikku dulu, dan ada sedikit perlu. saya tidak akan
kembali lagi ke kampus ini barangkali. Dan saya tidak akan mengingat ini. Yakan,
saya mulai mengandai-andai lagi.
Ingin rasanya membuang aksara
yang bertuliskan dan mengisi namamu di dalamnya. Membuang ingatan saya yang
dulu mengharapkannya. Pernah sangat mengharapkannya.
Tapi, kali ini saya telah
terbiasa. Jeda membuat saya terbiasa. Terbiasa tidak melihat aksaramu di alam
bawah sadarku. Suatu saat, mungkin saya akan lupa kalau kamu pernah ada. Seperti
kamu yang mencoba melupakan saya. Dan benar kamu telah berhasil. Kamu telah
menemukan ia lebih dahulu. Saya belum.
Lalu, suatu saat, kita akan
sama-sama terbiasa, bahwa kita tidak pernah ada. Bahwa saya dan kamu tidak
pernah ada. Jeda membuat kita terbiasa.
Mengingat ini saya jadi
tersenyum. Betapa sekarang konyol kelihatannya, memaparkan tetek-bengek rencana
masa depan dengan orang yang salah.
Ingatkah kamu. Dulu saya pernah
bilang, kelak jika kita menikah dan saya (dalam kondisi terpaksa) sebagai wanita
karier selain menjadi istri dan seorang ibu tentunya, saya ingin berkarier
sebagai PNS saja. Ketupusan itu, waktu itu, dirasa saya tepat. Sedangkan, kamu
terserah ingin berkarier sebagai apa sesuai kehendakmu saja.
Ya, waktu itu, saya tidak ingin,
kelak anak-anak dan suami saya diurus oleh pembantu. Saya hanya ingin, yang
pertama menjadi panutan mereka, mengajari tata-krama, melatih keteguhannya dan
juga kedisiplinannya. Ingin yang pertama mengenalkan mereka huruf alif, ba ta
dan seterusnya. Melatih Mengaji.
Ingin melihat mereka tumbuh
menjadi pribadi yang luar biasa.
Dan kamu, aku tidak ingin kamu makan masakan pembantu.
Kamu adalah imamku dan panutanku, hanya aku yang berbakti kepadamu selain
anak-anak. Saya rasa PNS yang jam kerjanya tetap dan konsisten, masih relevan
untuk saya untuk mengurus kalian.
tapi, saya akan sangat ikhlas
jika harus terus ada di rumahmu, rumah yang kita huni. Ibu rumah tangga adalah
jenis berkarier yang paling mulia untuk wanita bukan. Dan saya akan bangga,
saya janji. Waktu itu. Menjadi ibu rumah tangga harus pintar, katamu demi
anak-anak. Iya.
Dan dari dulu, seperti yang
pernah saya ungkapkan. Saya takut menjadi orang kaya. Saya hanya ingin menjadi
orang yang berkecukupan saja. Hidup sederhana. Tidak berlimpah tapi cukup. Cukup
yang melingkupi semua.
Saya tahu hati saya sepenuhnya. Kadang,
saya masih mempunyai sedikit sifat sombong di dalam hati. Dan kesombongan itu
akan bertambah seiring dengan keadaan yang berkelebihan termasuk harta. Makanya
saya tidak ingin.
Kamu tau, pemikiran seperti itu
secara tidak langsung merekat erat di memori saat kecil. Dari latar belakang
keluarga dari pihak ayah-ibu yang kebanyakan PNS dan sukses dalam berkeluarga. Ah
itu dulu. Dan saya masih ingat, kamu yang menguatkanku ketika saya gagal atas
cita-cita itu dua tahun lalu. Entah, kamu mungkin sudah melupakannya.
Saya rasa saya ingat, kamu agaknya
sebel di bagian yang ini ; saya, terlalu cerewet dalam bab agama. Kita sama-sama
tahu alasannya bukan J.
Bagaimana kita sama-sama memperbaiki ini- itu. Menambal ini-itu. Dan tertawa menyadari
kita telah berhasil melengkapinya. Ah, tapi itu dulu.
Sekarang kamu telah bahagia
dengan kehidupanmu. Dan kabar bahagia itu telah sampai kepada saya. Selamat. Kamu
juga mungkin sudah mendengarnya juga, saya gagal untuk lamaran waktu itu dengan
seseorang.
Dan ada beberapa yang mendekat. Tapi,
entah saya menolak. Iya, saya memang pilih-pilih dalam bab ini. Saya susah
jatuh cinta. Andai kamu tahu, sebenarnya ada satu. Aku terlalu pengecut merasa
belum pantas untuknya. Aku hanya bisa diam. Dan dia berlalu menemukan yang lebih
baik. Jauh lebih baik dari saya. Tapi, saya belum benar-benar terlambat untuk
meraihnya. Kamu tahu, saya dalam rangka usaha memantaskan diri kali ini saya
bersungguh-sungguh. Doakan saya.
Ih, kenapa saya benar-benar
menulis paragraf di atas ini. Jika saya ingat, akan saya hapus bagian ini. Dan tidak
ingin menceritakan kepadamu. Kepada siapa saja.
Sudah-sudah. Saya ngelantur siang
ini, berharap kamu tidak membaca ini diblog. Ah, busnya sudah Nampak bagian
kepalanya. Ceritanya harus saya sudahi.
Suatu ketika mungkin kita bertemu
di sebuah persimpangan. Di sebuah bagian lembaran cerita yang bernama
anti-kebetulan.
Kemudian dalam beberapa detik,
saya akan berhenti. Kamu akan berhenti. Mungkin saya akan membeku. Mungkin kamu
akan menjadi patung. Mungkin mata saya, mata kamu, akan berusaha saling menghindari
pandangan. Pura-pura tidak melihat. Pura-pura tidak kenal. Bahkan, menghindari
kemungkinan berkomunikasi malalui mata saya. Mata kamu.
Kita (saya-dan kamu) akan
membongkar kisah lama tanpa saling bertukar kata. Tanpa saling berbicara. Sama-sama
tertunduk. Lalu saling menggumam dalam diam.
Lalu suasana beku itu mungkin
akan meleleh. Mencair. Memaksa kita. Memaksa saya, memaksa kamu, untuk
bergerak. Kembali bertemu yang kali ini semakin dekat di persimpangan. Kembali berpura-pura
tidak saling kenal. Tidak saling bersenyum. Tidak saling menganggukkan kepala. Tak
pernah saling bicara bahkan bercanda. Tak pernah saling menyimpan cerita.
Lantas, saya, kamu, akan
menyimpan sesak itu. Sesak yang sama seperti satu setengah tahun yang lalu. Saat
saya, saat kamu berusaha saling melepaskan. Saling menghapus, dan saling
membuang dan menghilangkan.
….
Lihat. Busnya sudah benar-benar datang.
Dan lihat dua orang dosen yang ingin saya temui sudah memberikan kabar lagi. Dan
lihat langkah kaki saya dengan seksama, setelah saya menginjakkan kaki di pintu
gerbang dan keluar menjauh meninggalkan gerbang itu. Kamu akan tahu.
Kali ini saya bersungguh-sungguh
~