WELCOME.....WELCOME....!!! #injekkeset, sista and brada sekarang anda berada dalam zona aman milik ANGGI, Jangan sungkan-sungkan anggap saja rumah sendiri *nah loh. dan JANGAN LUPA BERKUNJUNG KEMBALI..^^v

Minggu, 31 Maret 2013

#Menepi

Kelip Kelip Kg. Kuantan, Kuala Selangor, Selangor

Seperempat abad, 25 tahun. Bukan waktu yang singkat, saya rasa. Begitu banyak hal yang berubah. Begitu banyak loncatan, pergeseran, dan perpindahan.

Bukan waktu yang singkat untuk sekedar menelantarkan kata “mengisi waktu luang”. Tidak hanya pergeseran jarum second per second pada bandul jam. bukan waktu yang singkat untuk berlayar di antara lautan berjuta ragam manusia, tenggelam di dalam samudra keringat yang bercampur dengan benua orientasi materi bahkan hanya sekedar mengenal jati diri.

Kata orang, waktu itu relatif, tentu tergantung sudut pandang. Orang cendekiawan akan beranggapan waktu itu pasti. Bila dihitung-hitung mengkalkulasikan satu tahun misalnya, jumlah per secondnya sudah mencapai 365 x 24 x60 x 60. Hasilnya ? bukan angka yang sedikit 31. 536.000 detik. Lantas jika dikalikan dengan 25 tahun?

Bagaimana menjadikan waktu itu relatif? Ah, ya kita seringkali mengesampingkan tambahan pencerminan rasa (relativitas rasa), dimana 1 detik bisa saja akan tersa 1 jam bahkan 1 tahun.

Dari jumlah tersebut, saya hanya membutuhkan sebuah pansive milik dumbledoor dan menyedot benang-benang memory lalu menuangkannya dalam bejana itu. Andai hidup semudah itu. Tidak.

Selayaknya hewan kita pun metamorphosis, metamorphosis tidak sempurna. Bayi – kanak-kanak – dewasa– tua– mati.

Begitu banyak rentetan- rentetan kejadian yang secepat kitat datang, dan secepat itu pula pergi. Akhir-akhir ini kejadian-kejadian itu seringkali nyantol di pikiran. Ibarat alur film mundur. Flashback. Terlalu banyak pergantian adegan film biografi kehidupan.

Dari perpindahan satu tempat ke tempat selanjutnya, diawali satu cerita dan bersambung dengan cerita lainnya. Sekuel. Prekuel. Saga dll.

 Dari pindah rumah masa kecil menuju rumah yang lebih menenangkan karena letaknya di pedesaan. Dari mulai anak mama sampai harus berpisah untuk ke kota besar melanjutkan pendidikan. Teman- teman berubah. Teman-teman berganti. Pindah satu kota ke kota lain. Setiap kota membekas menjadi kenangannya sendiri.

Sekarangpun saya masih tetap mencari rumah baru. Rumah dalam bentuk lain : hati yang baru. Dalam setahun ini saya mempunyai dua kehilangan besar. Serasa hati yang kecil ini dicongkel sedemikian besar, tidak hanya satu kali tapi dua. Menyisakan hanya separuhnya. Dan harus dipaksa menggantikan separuhnya dengan yang baru.

Putus cinta, dan memutuskan tetap mencintai walau orangnya telah tiada. Dua hal yang berlainan. Ya saya baru saja putus cinta dengan pacar, dan itu benar-benar putus ikatan (bukan perkara besar). Dan perkara kedua “memutuskan mencintai” dan tetap mencintai karena sebuah kehilangan yang telah digariskan : kematian. 2 bulan sudah saya kehilangan BAPAK. Ada kehilangan-kehilangan yang rasanya baru kemarin terjadi, dan selamanya akan selamanya seperti itu.

ironisnya bahwa perkara mencari rumah baru bertepatan dengan urusan pindah hati. Mungkin lebih tepatnya memperbaiki hati.

Hidup memang gudangnya kejutan bukan. Ibarat cuaca siang panas menyengat semenit kemudian hujan badai. Seketika keadaan berbalik 180 derajat. Itu yang saya rasakan. Dipaksa mencicipi remahan-remahan 

pancake dari berbagai rasa dari pahit coklat sampai asinnya keju.

Stok kaget saya belakangan ini hampir habis : kucing kesayangan mati

dan voilaaaaa entah Alloh mendengar salah satu stok doa saya atau memang terlalu baik. Saya dilamar. Iya, dilamar dan benar-benar dilamar. *krik* *krik*

Celakanya kejadian itu tidak dibarengi dengan stok kesiapan saya untuk kehilangan dibanding stok new comer. Hasilnya saya dilanda gelombang bimbang yang luar biasa.

Cuma satu hal yang saat ini saya butuhkan. MENEPI

Hanya demi beristirahat di sebuah dermaga, cuma sekadar bersandar di sebuah  karang raksasa, atau menikmati burung camar yang mencoba merunduk lalu mendarat.

Hanya untuk memejamkan mata, menengadahkan wajah ke angkasa, lalu merasakan sayup angin sepoi-sepoi yang sedang berkejaran di antara ilalang, lantas terlelap sampai ke sebuah dunia, yang disebut dimensi pikiran manusia. Menenangkan diri.
Seperti telinga kita sering terganggu oleh derau aneka suara; ada waktu untuk mengistirahatkan hati dari kebisingan kata-kata kita sendiri

Lalu menghela nafas. Dan merebahkan tubuh. Dan kemudian merasakan bahwa Tuhan itu ada, nggak cuma saya, kamu, dunia dan media-medianya.


Dan sekali kali jika pansive dambledoor itu benar adanya. Saya ingin sekali mencurinya. Hanya untuk sekedar meletakkan benang-benang kusut yang dinamakan pikiran.
Lalu, entah kapan akan berlayar kembali


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...